Jumat, 05 Maret 2010

ANTARIKSA

10 Fenomena Antariksa Paling Misterius


1. Tabrakan Antar Galaksi

Ternyata galaksi pun dapat saling “memakan” satu sama lain. Yang lebih mengejutkan adalah galaksi Andromeda sedang bergerak mendekati galaksi Bima Sakti kita. Gambar di atas merupakan simulasi tabrakan Andromeda dan galaksi kita , yang akan terjadi dalam waktu sekitar 3 milyar tahun. Credit: F. Summers/C. Mihos/L. Hemquist

tabrakan_galaksi

2. Quasar

Quasar tampak berkilau di tepian alam semesta yang dapat kita lihat. Benda ini melepaskan energi yang setara dengan energi ratusan galaksi yang digabungkan. Bisa jadi quasar merupakan black hole yang sangat besar sekali di dalam jantung galaksi jauh. Gambar ini adalah quasar 3C 273, yang dipotret pada 1979. Credit: NASA-MSFC.

quasar

3. Materi Gelap (Dark Matter)

Para ilmuwan berpendapat bahwa materi gelap (dark matter) merupakan penyusun terbesar alam semesta, namun tidak dapat dilihat dan dideteksi secara langsung oleh teknologi saat ini. Kandidatnya bervariasi mulai dari neotrino berat hingga invisible black hole. Jika dark matter benar-benar ada, kita masih harus membutuhkan pengetahuan yang lebih baik tentang gravitasi untuk menjelaskan fenomena ini. Credit: Andrey Kravtsov.

dark_matter

4. Gelombang Gravitasi (Gravity Waves)

Gelombang gravitasi merupakan distorsi struktur ruang-waktu yang diprediksi oleh teori relativitas umum Albert Einstein. Gelombangnya menjalar dalam kecepatan cahaya, tetapi cukup lemah sehingga para ilmuwan berharap dapat mendeteksinya hanya melalui kejadian kosmik kolosal, seperti bersatunya dua black hole seperti pada gambar di atas. LIGO dan LISA merupakan dua detektor yang didesain untuk mengamati gelombang yang sukar dipahami ini. Credit: Henze/NASA.

gravitasi_waves

5. Energi Vakum

Fisika Kuantum menjelaskan kepada kita bahwa kebalikan dari penampakan, ruang kosong adalah gelembung buatan dari partikel subatomik “virtual” yang secara konstan diciptakan dan dihancurkan. Partikel-partikel yang menempati tiap sentimeter kubik ruang angkasa dengan energi tertentu, berdasarkan teori relativitas umum, memproduksi gaya antigravitasi yang membuat ruang angkasa semakin mengembang. Sampai sekarang tidak ada yang benar-benar tahu penyebab ekspansi alam semesta. Credit: NASA-JSC-ES&IA.

energi_vakum

6. Mini Black Hole

Jika teori gravitasi “braneworld” yang baru dan radikal terbukti benar, maka ribuan mini black holes tersebar di tata surya kita, masing-masing berukuran sebesar inti atomik. Tidak seperti black hole pada umumnya, mini black hole ini merupakan sisa peninggalan Big Bang dan mempengaruhi ruang dan waktu dengan cara yang berbeda. Credit: NASA-MSFC.

mini_blackhole

7. Neutrino

Neutrino merupakan partikel elementer yang tak bermassa dan tak bermuatan
yang dapat menembus permukaan logam. Beberapa neutrino sedang menembus tubuhmu saat membaca tulisan ini. Partikel “phantom” ini diproduksi di dalam inti bintang dan ledakan supernova. Detektor diletakkan di bawah permukaan bumi, di bawah permukaan laut, atau ke dalam bongkahan besar es sebagai bagian dari IceCube, sebuah proyek khusus untuk mendeteksi keberadaan neutrino.Credit: Jeff Miller/NSF/U. of Wisconsin-Madison.

neutrino

8. Ekstrasolar Planet (Exoplanet)

Hingga awal 1990an, kita hanya mengenal planet di tatasurya kita sendiri. Namun, saat ini astronom telah mengidentifikasi lebih dari 200 ekstrasolar planet yang berada di luar tata surya kita. Pencarian bumi kedua tampaknya belum berhasil hingga kini. Para astronom umumnya percaya bahwa dibutuhkan teknologi yang lebih baik untuk menemukan beberapa dunia seperti di bumi. Credit: ESO.

exoplanet

9. Radiasi Kosmik Latarbelakang

Radiasi ini disebut juga Cosmic Microwave Background (CMB) yang merupakan sisa radiasi yang terjadi saat Big Bang melahirkan alam semesta. Pertama kali dideteksi pada dekade 1960 sebagai noise radio yang nampak tersebar di seluruh penjuru alam semesta. CBM dianggap sebagai bukti terpenting dari kebenaran teori Big Bang. Pengukuran yang akurat oleh proyek WMAP menunjukkan bahwa temperatur CMB adalah -455 derajat Fahrenheit (-270 Celsius). Credit: NASA/WMAP Science Team.

radiasi_kosmik

10. Antimateri

Seperti sisi jahat Superman, Bizzaro, partikel (materi normal) juga mempunyai versi yang berlawanan dengan dirinya sendiri yang disebut antimateri. Sebagai contoh, sebuah elektron memiliki muatan negatif, namun antimaterinya positron memiliki muatan positif. Materi dan antimateri akan saling membinasakan ketika mereka bertabrakan dan massa mereka akan dikonversi ke dalam energi melalui persamaan Einstein E=mc2. Beberapa desain pesawat luar angkasa menggabungkan mesin antimateri. Credit: Penn State U. /NASA-MSFC.

antimatter

Melihat berbagai fenomena tersebut, mengingatkan kita betapa micro sebenarnya keberadaan kita dalam alam semesta ini. (far/aloysiuzgonzaga)



Jumat, 05 Februari 2010

mencari jalan


Mencari Jalan Saat Terasa Lemah

Bermulanya episod dalam kehidupan..Melalui jalan tarbiyah dalam keadaan benar2 jahil..
Ya, setinggi mana pun derajat manusia itu, ia tetap hamba yg lemah..
Semua org jahil..jahil ttg agamanya..Jahil ttg imannya..
Sedangkan..itu bekalan yg akan dibawa nanti...argh..hina sungguh manusia!
Siapa manusia?..Aku?kamu?..Semua?..
Ya..siapa lagi?

Dalam kerancuan, dalam kekusutan..Cuba mencari yg pasti..
Diteruskan juga perjalanan..digagahi segala kudrat yg ada.
Kerana ada sahabat dan teman seperjuangan..

Yg pasti sampai bila harus disua nikmat?
Sampai bila harus ada yg memujuk hati tatkala terjatuh dan terleka?
Sampai bila?


Proaktiflah, berdaya majulah saudarku fillah...
Jalan dakwah yang mengoptimumkan kerja dan kemampuan kita, bukan kita! Mulanya..jalan yg dilalui hnya perlu merangkak, namun Semakin selesa merangkak, seakan minta kita cepat berjalan.. Semakin laju kita berjalan, jalan itu seakan minta kita berlari.. Semakin laju kita berlari, sekan meminta kita terbang pula... Ingatlah, semakin cepat kita sampai kpd titik-titik penting, semakin bnyak halangan dan cabaran sedangkan dlm waktu yg sama minta kita cepat berjalan, cepat berlari dan kemudian, minta kita terbang pula... Setiap marhalah ada ujiannya.. Setiap marhalah ada pemudanya! Moga kita lah pemuda itu!

WARNING!!!!!


Bahaya Tidur Selepas SuBUH

Kita telah ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yanng penuh barakah dan di antara waktu yang kita diperintahkan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya kita banyak melihat orang-orang melalaikan waktu yang mulia ini. Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk bekerja, melakukan ketaatan dan beribadah, ternyata dipergunakaan untuk tidur dan bermalas-malasan.

Saudaraku, ingatlah bahawa orang-orang soleh terdahulu sangat membenci tidur pagi. Kita dapat melihat ini dari penuturan Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur bahawa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan.

Waktu tidur yang paling bermanfaat yaitu :

  1. Tidur ketika perlu tidur.
  2. Tidur di awal malam – ini lebih manfaat daripada tidur lewat malam
  3. Tidur di pertengahan siang –ini lebih bermanfaat daripada tidur di waktu pagi dan petang. Apatah lagi pada waktu pagi dan petang sangat kurang manfaatnya bahkan lebih banyak bahaya yang ditimbulkan, lebih-lebih lagi tidur di waktu Asar dan awal pagi kecuali jika memang tidak tidur semalaman.

Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai solat subuh hingga matahari terbit. Kerena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang soleh. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mahu tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian kerana waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rezeki dan datangnya barokah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah)

BAHAYA TIDUR PAGI

[Pertama] Tidak sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan As Sunnah.

[Kedua] Bukan termasuk akhlak dan kebiasaan para salafush soleh (generasi terbaik umat ini), bahkan merupakan perbuatan yang dibenci.

[Ketiga] Tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya.

[Keempat] Menyebabkan malas dan tidak bersemangat di sisa harinya.

Maksud dari hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnul Qayyim. Beliau rahimahullah berkata, "Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya." (Miftah Daris Sa'adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di petang harinya dia juga akan malas-malasan pula.

[Kelima] Menghambat datangnya rezeki.

Ibnul Qayyim berkata, "Empat hal yang menghambat datangnya rezeki adalah [1] tidur di waktu pagi, [2] sedikit solat, [3] malas-malasan dan [4] berkhianat." (Zaadul Ma’ad, 4/378)

[Keenam] Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)

Selasa, 26 Januari 2010

IBADAH

Akankah Amalku Di Terima ?

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata'ala.
Allah Subhanahuwata'ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah r ) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.
Wallahu a’lam.

wanita dalam sholat

Seputar Pakaian Wanita dalam Shalat
[Print View] [kirim ke Teman]

Apakah boleh shalat memakai pantaloon (celana panjang ketat) bagi wanita dan lelaki. Bagaimana pula hukum syar’inya bila wanita memakai pakaian yang bahannya tipis namun tidak menampakkan auratnya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pakaian yang ketat yang membentuk anggota-anggota tubuh dan menggambarkan tubuh wanita, anggota-anggota badan berikut lekuk-lekuknya tidak boleh dipakai, baik bagi laki-laki maupun wanita. Bahkan untuk wanita lebih sangat pelarangannya karena fitnah (godaan) yang ditimbulkannya lebih besar.
Adapun dalam shalat, bila memang seseorang shalat dalam keadaan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut maka shalatnya sah karena adanya penutup aurat, akan tetapi orang yang berpakaian ketat tersebut berdosa. Karena terkadang ada amalan shalat yang tidak ia laksanakan dengan semestinya disebabkan ketatnya pakaiannya. Ini dari satu sisi. Sisi yang kedua, pakaian semacam ini akan mengundang fitnah dan menarik pandangan (orang lain), terlebih lagi bila ia seorang wanita.
Maka wajib bagi si wanita untuk menutup tubuhnya dengan pakaian yang lebar dan lapang, tidak menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak mengundang pandangan (karena ketatnya), dan juga pakaian itu tidak tipis menerawang. Hendaknya pakaian itu merupakan pakaian yang dapat menutupi tubuh si wanita secara sempurna, tanpa ada sedikitpun dari tubuhnya yang tampak. Pakaian itu tidak boleh pendek sehingga menampakkan kedua betisnya, dua lengannya, atau dua telapak tangannya. Si wanita tidak boleh pula membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya tapi ia harus menutup seluruh tubuhnya. Pakaiannya tidak boleh tipis sehingga tampak tubuhnya di balik pakaian tersebut atau tampak warna kulitnya. Yang seperti ini jelas tidak teranggap sebagai pakaian yang dapat menutupi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam hadits yang shahih1:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: رِجَالٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِساَءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسَهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ لاَ يَجِدْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk unta, mereka tidak akan mencium wanginya surga.”
Makna كَاسِيَاتٌ: mereka mengenakan pakaian akan tetapi hakikatnya mereka telanjang karena pakaian tersebut tidak menutupi tubuh mereka. Modelnya saja berupa pakaian akan tetapi tidak dapat menutupi apa yang ada di baliknya, mungkin karena tipisnya atau karena pendeknya atau kurang panjang untuk menutupi tubuh.
Maka wajib bagi para muslimah untuk memperhatikan hal ini. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/158-159)



Kebanyakan wanita bermudah-mudah dalam masalah aurat mereka di dalam shalat. Mereka membiarkan kedua lengan bawahnya atau sedikit darinya terbuka/tampak saat shalat, demikian pula telapak kaki bahkan terkadang terlihat sebagian betisnya, apakah seperti ini shalatnya sah?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memberikan jawaban, “Yang wajib bagi wanita merdeka dan mukallaf untuk menutup seluruh tubuhnya dalam shalat terkecuali wajah dan dua telapak tangan, karena seluruh tubuh wanita aurat.
Bila ia shalat sementara tampak sesuatu dari auratnya, seperti betis, telapak kaki, kepala atau sebagiannya, maka shalatnya tidak sah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid kecuali bila mengenakan kerudung.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Yang dimaksud haid dalam hadits di atas adalah baligh.
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita itu aurat.”2
Juga riwayat Abu Dawud dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat memakai dira’ (pakaian yang biasa dikenakan wanita di rumahnya, semacam daster) dan khimar (kerudung) tanpa memakai izar (sarung/pakaian yang menutupi bagian bawah tubuh). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya haditsnya atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.”3
Bila di dekat si wanita (di sekitar tempat shalatnya) ada lelaki ajnabi maka wajib baginya menutup pula wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/ 409)



Kita perhatikan sebagian orang yang shalat mereka mengenakan pakaian yang tipis hingga bisa terlihat kulit di balik pakaian tersebut. Apa hukumnya shalat dengan pakaian seperti itu?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu menjawab, “Wajib bagi orang yang shalat untuk menutup auratnya ketika shalat menurut kesepakatan kaum muslimin dan tidak boleh ia shalat dalam keadaaan telanjang, sama saja apakah ia lelaki ataukah wanita.
Wanita lebih sangat lagi auratnya. Kalau lelaki, auratnya dalam shalat adalah antara pusar dan lutut disertai dengan menutup dua pundak atau salah satunya bila memang ia mampu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِف بِهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Bila pakaian/kain itu lebar/lapang maka berselimutlah engkau dengannya (menutupi pundak) namun bila kain itu sempit bersarunglah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لاَيُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ
“Tidak boleh salah seorang dari kalian shalat dengan mengenakan satu pakaian/kain sementara tidak ada sedikitpun bagian dari kain itu yang menutupi pundaknya.”
Hadits ini disepakati keshahihannya.
Adapun wanita, seluruh tubuhnya aurat di dalam shalat terkecuali wajahnya.
Ulama bersilang pendapat tentang dua telapak tangan wanita: Sebagian mereka mewajibkan menutup kedua telapak tangan. Sebagian lain memberi keringanan (rukhshah) untuk membuka keduanya. Perkaranya dalam hal ini lapang, insya Allah. Namun menutupnya lebih utama/afdhal dalam rangka keluar dari perselisihan ulama dalam masalah ini.
Adapun dua telapak kaki, jumhur ahlil ilmi (mayoritas ulama) berpendapat keduanya wajib ditutup.
Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya hadits ini atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (yakni, ucapan ini adalah perkataan Ummu Salamah bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.).”
Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, wajib bagi lelaki dan wanita untuk mengenakan pakaian yang dapat menutupi tubuhnya, karena kalau pakaian itu tipis tidak menutup aurat batallah shalat tersebut. Termasuk di sini bila seorang lelaki memakai celana pendek yang tidak menutupi kedua pahanya dan tidak memakai pakaian lain di atas celana pendek tersebut sehingga dua pahanya tertutup, maka shalatnya tidaklah sah.
Demikian pula wanita yang mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi auratnya maka batallah shalatnya. Padahal shalat merupakan tiang Islam dan rukun yang terbesar setelah syahadatain, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin, pria dan wanita, untuk memberikan perhatian terhadapnya dan menyempurnakan syarat-syaratnya serta berhati-hati dari sebab-sebab yang dapat membatalkannya, berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ
“Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha (ashar)...” (Al-Baqarah: 238)
Dan firman-Nya:
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮢ
“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
Tidaklah diragukan bahwa memerhatikan syarat-syarat shalat dan seluruh yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan berkenaan dengan shalat masuk dalam makna penjagaan dan penegakan yang diperintahkan dalam ayat.
Apabila di sisi/di sekitar si wanita itu ada lelaki ajnabi saat ia hendak shalat maka wajib4 baginya menutup wajahnya. Demikian pula dalam thawaf, ia tutupi seluruh tubuhnya karena thawaf masuk dalam hukum shalat. Wabillahi at-taufiq.” (Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/410-412)


Bila aurat orang yang sedang shalat tersingkap, bagaimana hukumnya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Orang yang demikian tidak lepas dari beberapa keadaan :
Pertama: Bila ia sengaja/membiarkannya, shalatnya batal, baik sedikit yang terbuka/tersingkap ataupun banyak, lama waktunya ataupun sebentar.
Kedua: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka cuma sedikit maka shalatnya tidak batal.
Ketiga: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak namun cuma sebentar seperti saat angin bertiup sedang ia dalam keadaan ruku lalu pakaiannya tersingkap tapi segera ia tutupi/perbaiki maka pendapat yang shahih shalatnya tidak batal karena ia segera menutup auratnya yang terbuka dan ia tidak bersengaja menyingkapnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﯙ
“Bertakwallah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Keempat: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak, waktunya pun lama karena ia tidak tahu ada auratnya yang terbuka terkecuali di akhir shalatnya maka shalatnya tidak sah karena menutup aurat merupakan salah satu syarat shalat dan umumnya yang seperti ini terjadi karena ketidakperhatian dirinya terhadap auratnya di dalam shalat. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh ibnu Al-Utsaimin, Fatawa Al-Fiqh, 12/300-301)

1 HR. Muslim no. 5547.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan hadits di atas termasuk mukjizat kenabian, karena telah muncul dan didapatkan dua golongan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, wanita-wanita itu memakai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi tidak mensyukurinya. Ada pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.
مَائِلاَتٌ maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari perkara yang semestinya dijaga.
مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain. Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur dan mereka menyisirkan wanita lain dengan model sisiran seperti mereka.
رٌؤٌوْسٌهٌنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336) –pen.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan dalam Al-Misykat (no. 3109), Al-Irwa’ (no. 273), dan Ash-Shahihul Musnad (2/36). –pen.
3 Yakni hadits di atas adalah ucapan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
4 Berdasar pendapat yang mewajibkan menutup wajah, bukan yang menganggapnya sunnah. (ed)

Senin, 25 Januari 2010

JILBAB YANG MEMBEBASKAN

Pada tanggal 4 Juni 2003 yang lalu, website Jaringan Islam Liberal memuat sebuah tulisan mengenai jilbab yang berjudul Kritik Atas Jilbab yang ditulis oleh Nong Darol Mahmada. Berikut ini, kami sarikan beberapa poin penting dari tulisan Nong Darol Mahmada tersebut.

Nong Darol Mahamada memulai tulisannya dengan pertanyaan “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?” Kemudian, dengan menelaah buku “Kritik Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi yang diterbitkan oleh JIL bulan April 2003, Nong Darol menemukan jawabannya, yaitu sebagai berikut.

“Sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam kitab Taurat, Injil, bahkan sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti zaman Asyria), tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam Islam didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur. Menurut Nong, kalimat dalam ayat itu “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena menurut tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa memperlihatkan lehernya. Artinya, ayat jilbab di atas bersifat kondisional.”

Lalu, dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis bahwa kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…” dalam ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksudnya, penggunaan jilbab adalah untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak. Bahkan lebih jauh lagi, Nong mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak.

Berikut ini tanggapan atas tulisan Nong Darol Mahmada tersebut. Tulisan ini sudah pernah dikirim ke website JIL, namun hingga kini tidak pernah dimuat.

Selamat membaca!

***

Sayang sekali, saya tidak (atau belum) bisa mendapatkan buku “Kritik Atas Jilbab” yang ditulis M.Said Al-Asymawi. Namun, membaca tulisan Nong Darol Mahmada yang diakuinya berdasarkan pengalaman subyektifnya, saya jadi tergelitik untuk berbagi pengalaman subyektif saya sendiri. Dan mungkin, pengalaman ini cukup menarik dibaca karena saya sudah empat tahun hidup di Iran, sebuah negeri yang, kesannya, “serba hitam”.

Pertama kali saya datang ke Iran empat tahun yang lalu, saya bertanya-tanya, apakah saya akan diwajibkan ber-chadur (kain hitam yang diselubungkan di seluruh tubuh kecuali muka)? Ternyata benar, semasa saya belajar bahasa Parsi di Int’l Univ. Of Imam Khomeini, kami-kami mahasiswa asing, apapun agama dan mazhabnya, wajib ber-chadur. Baru sebulan belajar, ada beberapa mahasiswa Kristen asal Afrika mempelopori surat protes atas kewajiban pemakaian chadur terhadap mahasiswa asing. Alasannya, wong orang Iran saja tidak wajib ber-chadur mengapa mahasiswi asing diwajibkan? Akhirnya, kami dibebaskan dari chadur.

Namun, lulus kuliah bahasa Parsi, saya pindah ke Tehran University, saya kembali diikat oleh kewajiban ber-chadur ini. Saya masuk fakultas teologi dan semua mahasiswi teologi wajib ber-chadur. Sebagian mahasiswi Iran dengan patuh mengenakan chadur di lingkungan kampus, tapi, di luar kampus, chadur-nya dilepas dan dimasukkan ke tas (dan ini pun terkadang saya lakukan karena saya merasa ribeut ber-chadur). Chadur memang tidak diwajibkan oleh pemerintah Iran, yang wajib adalah berjilbab. Semua perempuan di atas sembilan tahun, apapun agamanya, apapun warga negaranya, yang berada di Iran harus mengenakan jilbab bila keluar rumah. Inipun, akhir-akhir ini tidak begitu dipatuhi lagi oleh banyak perempuan Iran (khusunya di Teheran). Sebagian dari mereka kini lebih suka mengenakan jilbab ala Mbak Tutut, artinya sebagian rambutnya tetap terlihat. Mode baju yang semakin ketat juga mulai meraja-lela, sampai-sampai akhir-akhir ini pemerintah mengadakan razia ke toko-toko baju dan menyita baju-baju yang dianggap tidak sesuai syariat.

Walhasil, Iran memang tidak bisa dijadikan contoh sebagai negara yang –secara praktis-- benar-benar ketat menerapkan aturan hijab. Tapi, ada satu bukti tak terbantahkan yang berhasil ditunjukkan Iran, yaitu: jilbab dihadirkan bukan untuk mengekang perempuan. Apa buktinya? Di Iran, semua lapangan pekerjaan bisa dipegang oleh perempuan, mulai dari wakil presiden (menjadi presiden memang belum pernah terjadi, meskipun dibenarkan oleh undang-undang), pilot, insinyur, dokter, sopir taksi, petani, penyanyi, olahragawan, dan bintang film. Jangan bayangkan bahwa film Iran berkisar pada tema-tema religius atau diperankan anak-anak melulu sebagaimana beberapa film pemenang festival yang pernah diputar di Indonesia. Tema film apapun, termasuk kisah cinta ala Rano Karno dan Yessi Gusman bisa dibuat di Iran dengan bintang film berjilbab atau ber-chadur sekalipun. Tentu saja adegan pelukan dan ciuman antar bintang film tidak dilakukan, tapi itu sama sekali tidak mengurangi keseruan—kecuali kalau niat kita menonton film adalah menyaksikan adegan-adegan panas demi memuaskan nafsu syahwat. Pada Asian Games di Busan yang lalu, seorang perempuan Iran –lengkap dengan jilbabnya—berhasil meraih medali perunggu taekwondo.

Karena itu, kalimat yang ditulis Nong “Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar....Implikasinya, perempuan tidak bisa melakukan apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba manusia.” jelas bertentangan dengan realitas di sebuah negara yang jilbab bukan saja dianggap sebagai kewajiban agama, tetapi juga diwajibkan oleh pemerintah.

Meminjam logika Murtadha Muthahhari (di bukunya “Hak-Hak Wanita dalam Islam”), bila perempuan diwajibkan oleh Islam untuk berkurung diri di rumah, tidak perlu ada aturan berjilbab. Buat apa? Toh yang melihat si perempuan hanya suaminya sendiri atau ayahnya. Jilbab itu justru dipakai bila perempuan akan keluar rumah. Artinya, wajib jilbab berarti ‘wajib’ keluar rumah dan wajib beraktivitas untuk memaksimalkan potensi kemanusiaannya.

Nah, bila diskusi ini diteruskan dari poin ini, mungkin akan melebar ke mana-mana. Perkenankan saya agak “meng-ilmiahkan” tulisan saya ini. Namun, saya tidak mau bersusah payah adu argumentasi ayat Quran atau hadis (atau, sejujurnya, saya sedang malas membuka-buka buku-buku agama). Bisa dianalogikan dengan orang Islam dan Kristen saling beradu argumen tentang kebenaran agamanya masing-masing. Si Muslim menyodorkan ayat-ayat Quran sebagai argumennya, sementara si Kristen menyodorkan ayat-ayat Injilnya. Jelas tidak akan ada titik temu. Kalimat terakhir mereka akan berbunyi: bagimu agamamu, bagiku agamaku. Diskusi antara mereka berdua hanya bisa mencapai titik temu bila alat yang dipakainya adalah alat yang universal, dimiliki semua orang dari semua agama, yaitu akal.

Tulisan saya ini pun hanya akan memberikan argumentasi mantiqi (logika, akal). Karena, mungkin saya dan Nong, meskipun sama-sama muslim, tidak sepakat dalam masalah teologis, masalah penafsiran ayat, hadis, sumber-sumber hadis mana yang bisa dipercaya, dan sejenisnya. Jadi, tidak ada gunanya berdebat dari sudut ini. Setuju?

Premis pertama yang harus sama-sama diakui ketika kita ingin membicarakan masalah jilbab adalah apakah Islam itu agama hukum (syariat) atau bukan? Artinya, apakah kita mengakui Islam itu adalah agama dengan seperangkat aturan hukum atau tidak? Bila tidak, jilbab malah sama sekali tidak perlu dibahas. Buat apa? Ketika kita menganggap bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dijadikan landasan utama batasan atau hukum – atau dalam istilah Ulil Abshar-Abdalla dalam artikelnya Agama, Akal, dan Kebebasan, wahyu hanyalah sekedar ”...membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. “—adalah non-sense membicarakan aspek-aspek hukum dalam Islam. Artinya, sah-sah saja bila kita menafikan semua aturan yang (dianggap) ada dalam Islam. Tidak perlu kita capek-capek sholat lima kali sehari semalam bila kita tidak meyakini adanya syariat itu. Tidak perlu takut dianggap kafir, karena istilah kafir itupun akan menjadi bias dalam konteks ini.

Murtadha Muthhari dalam bukunya Keadilan Tuhan menulis bahwa orang yang tidak kenal Tuhan sekalipun bisa masuk surga bila memang orang itu telah mengerahkan segala daya upayanya untuk menemukan Tuhan, tapi tetap tak bertemu dengan Tuhan.

Bila kita sudah menyepakati bahwa Islam adalah agama yang memberikan segenap aturan yang berupa syariat, mana yang boleh, mana yang tidak, (dengan pembahasan filosofis yang panjang, dan saya kira amat dangkal bila disimpulkan “O...kalau begitu, Islam itu hanya buat keledai, yang harus diatur-atur, dikasih tahu mana yang benar, mana yang salah), kita bisa melangkah ke premis kedua, bagaimana proses tasyri’ (penetapan hukum) terjadi?

Proses tasyri’ dalam masalah ibadah (misalnya, mengapa haji harus mengelilingi Ka’bah) terjadi –ringkasnya—secara arbitrer alias: suka-suka Tuhan, Dia yang menentukan. Tapi, proses tasyri’ dalam masalah sosial selalu bersifat kontekstual (dan masuk akalnya memang seharusnya begitu). Proses ini bisa saja berupa imdha’ (pengukuhan—budaya yang ada memang sesuai dengan prinsip islam lalu diadopsi dan ditetapkan sebagai hukum Islam) atau sebaliknya, berupa rad (penolakan). Seluruh fenomena budaya direspons secara proaktif oleh hukum Islam (kadang-kadang hukum yang muncul melebar melebihi keperluan temporer). Justru inilah yang menjadi salah satu ciri progresivitas hukum Islam.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa ayat jilbab (QS 33:59) memang kontekstual. Bisa dicatat di sini, artinya, mengenakan jilbab bukan berasal dari budaya orang Arab, tapi, justru Islam yang memerintahkan kepada perempuan Arab saat itu untuk mengubah cara berpakaiannya. Nah, di sinilah proses tasyri’ Islam terjadi. Ketika sudah ditetapkan, maka akan menjadi hukum abadi, tidak peduli bagaimana asalnya dan bagaimana konteksnya ketika diturunkan.

Bila kita membantah proses ini, pada saat yang sama akan terbantah pula seluruh proses tasyri’ yang lain dalam bangunan Islam. Misalnya dalam budaya Arab Jahiliah, anak angkat tidak ada bedanya dengan anak kandung. Tuhan memberikan respon syar’i dengan memerintahkan Rasul menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya. Dengan demikian terjadi aturan syar’i baru bahwa anak angkat tetaplah anak angkat, yang bukan muhrim dan tidak berhak dimasukkan dalam pembagian warisan mendapatkan warisan (tentu saja, berhak mendapat hibah harta dari orang tua angkatnya—hibah berbeda aturannya dengan waris). Atau, kaum Arab Jahiliah dulu tidak punya aturan dalam menikah (boleh berapa saja), Islam memberi aturan, maksimal empat.

Dengan demikian, pernyataan Mernisi yang dikutip Nong bisa dijawab “So, what?”. Nong menulis, “Seperti yang dikemukakan Fatima Mernisi dalam buku Wanita dalam Islam, dalam masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya. QS 33:53 menegaskan akan ruang privat Nabi dan isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya tidak dikotomi publik dan privat.”

Ya, so what? Memang mungkin, sebelum Islam datang, tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi publik maupun privat. Lalu? Ketika kita memeluk agama Islam, apa itu artinya kita bersedia mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan setelah Islam turun atau lebih memilih melaksanakan kebiasaan sebelum Islam turun? Jangankan soal agama, ketika kita bekerja di sebuah instansi, kita harus mau mematuhi peraturan-peraturan di instansi itu, bila tidak, direktur pasti bilang, “Silahkan keluar.”

Saya tergelitik juga untuk mengomentari pendapat Nong tentang ayat jilbab (QS 33:59). Nong menulis: ... Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan dengan budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islm misalnya dalam perbedaan pakaian di atas

Saya yakin, Nong bukanlah ahli tafsir –dalam keilmuan konvensional Islam, yang berhak menjadi penafsir Al-Quran haruslah orang yang sudah menguasai berbagai cabang keilmuan Islam, bukan sekedar paham bahasa Arab—begitu pula saya. Tapi, karena dalam wacana Islib sepertinya semua orang berhak menafsirkan ayat Quran sesuai pemahamannya sendiri, saya pun tidak mau ketinggalan memberikan kemungkinan penafsiran menurut versi saya sendiri, dengan basis logika.

Pertama, sebagaimana saya sebutkan di atas, syariat Islam memang responsif terhadap kondisi masyarakat. Di zaman jahiliah, yang namanya budak itu dikuasai sepenuhnya, jiwa dan raga oleh tuannya. Islam hadir dengan seruan memerdekakan budak, atau bila tidak, izinkan budakmu untuk memeluk keyakinannya sendiri. Tenaga si budak memang milik tuannya, tapi jiwa dan nuraninya adalah miliknya sendiri. Bahkan, dalam hukum waris disebutkan, bila si tuan tidak punya ahli waris (dan disebutkan perinciannya,siapa saja yang berhak menjadi ahli waris), maka warisan itu akan jatuh ke tangan budaknya yang digunakannya untuk memerdekakan dirinya. Walhasil, saya menolak adanya kesan ambigu itu.

Kedua, bila ayat jilbab boleh ditafsirkan sebagai pembeda antara budak dengan orang merdeka, berarti boleh pula ditafsirkan dengan cara lain, misalnya “Lho... maksudnya, bukan membedakan antara budak dengan merdeka, (toh ayat itu sama sekali tidak menyebut kata budak, berarti sah-sah saja, dong, saya memberikan kemungkinan penafsiran yang lain) tapi, membedakan antara yang muslim dengan yang bukan muslim.”

Mungkin sampai di sini perdebatan akan dilanjutkan dengan argumen Nong bahwa penafsiran ayat itu berasal dari ahli tafsir Abu Syuqqah. Masalahnya, saya tidak mengakui kevalidan Abu Syuqqah, sebagaimana mungkin Nong tidak akan mau mengakui kevalidan Muhsin Qiraati, misalnya, seorang ahli tafsir kontemporer Iran yang sangat saya akui kehebatannya. Jadi, terpaksa kita kembali ke fasilitas universal yang sudah disediakan Tuhan untuk semua umat manusia, yaitu akal dan logika.

Terakhir, penafsiran Nong tentang ayat itu bisa saya simpulkan sebagai berikut: kaum perempuan Jahiliah punya kebiasaan pakai kain di kepala tapi tidak ditutupkan ke dadanya (ini juga diakui oleh Murtadha Muthahhari yang mengutip catatan sejarah Will Durrant “Sejarah Peradaban”). Berarti, ayat yang berbunyi “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah perintah bagi “mereka” itu yang memang asalnya sudah mengenakan kain di kepalanya. Kesimpulannya, perintah jilbab bukan untuk semua muslimah sepanjang zaman.

Argumen bantahan untuk ini, bisa dari dua sisi. Pertama, dalam ilmu ushul (yurisprudensi Islam), ada pembahasan khusus tentang redaksi hukum dan ini amat berkaitan dengan logika. Misalnya, dalam Al-Quran hanya disebutkan ”Wa la taquuluu lahuma uffin” –janganlah berkata “uff” (kepada orangtuamu). Logikanya, kalau berkata uff saja tidak boleh, apalagi memaki, memukul, atau menelantarkan orangtua. Dari sudut pandang ini, sangat masuk akal bila ayat-ayat Quran seringkali hanya berupa isyarat hukum dan tidak terperinci. Adalah sangat tidak masuk akal bila sebuah undang-undang dasar harus memuat segala aturan secara detil dan terperinci, karena pasti akan memakan ribuan atau puluhan ribu halaman. Berarti, masuk akal pula bila dalam ilmu Islam puluhan ribu buku telah ditulis—dan akan terus ditulis—untuk menafsirkan Quran.

Sehubungan dengan jilbab, bila diperintahkan untuk mengulurkan kain (yang semula sudah melekat di kepala) ke dada, logikanya, mengenakan kain jilbab (yang tadinya sama sekali tidak ada di kepala) lebih wajib lagi.

Argumen kedua, Nong (atau siapa saja yang menganggap jilbab tidak wajib dalam Islam) berdalil bahwa perintah itu adalah untuk “mereka”, bukan kamu (meskipun, selengkapnya ayat ini berbunyi, “Hai Nabi, katakanlah kepada istrimu, anak-anakmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal dan tidakdiganggu dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”—artinya, yang dimaksud dengan “mereka” itu sudah amat eksplisit).

Dalam ilmu tafsir Quran, kita bisa pelajari bahwa kata perintah dalam Quran tidak selalu menggunakan kata ganti kedua (kamu) atau dhamir mukhatab, melainkan kadang-kadang dipakai juga kata ganti orang ketiga (dhamir ghaib). Jika perintah dalam Al-Quran harus menggunakan dhamir yang jelas, baru dianggap berterima, maka banyak sekali perintah dalam Quran yang tertolak. Contoh gampangnya, qul huwallahu ahad. (Katakanlah [hai Nabi] bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.) Bisa saja kita berdalih, “Lho...yang disuruh berkata bahwa tidak ada tuhan selain Allah itu cuma Nabi kok, bukan kita...”

Surat Al-Hajj ayat 29 juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa perintah Tuhan tidak selalu menggunakan kata ganti orang kedua. “Walyatawwafuu bil baitil atiiq” (dan hendaklah mereka bertawaf di sekitar Ka’bah). Artinya, ada hukum bahwa dalam haji, bertawaf itu bukan di dalam Ka’bah, tapi mengelilingi Ka’bah. Perintah itu bukan buat “mereka”saja, tapi, seluruh umat Islam sampai hari ini tidak ada yang bertawaf di dalam Ka’bah, melainkan mengelilingi Ka’bah.

Walhasil, bisa disimpulkan bahwa perintah jilbab itu bukan hanya buat “mereka” tetapi juga buat “kamu”, yaitu muslimah sepanjang zaman.

Dari sini, mungkin kita bisa menyepakati bahwa memahami syariat tidaklah semudah membaca satu buku saja. Banyak cabang ilmu yang harus dijadikan pertimbangan. Karena itu, bila perdebatan ini dilanjutkan pada pertanyaan, “Yang jadi masalah, manakah yang kita akui sebagai syariat, mana yang bukan? Mana yang benar-benar diturunkan Tuhan, mana yang di-institutionalized oleh sebagian ulama picik?”, ada sederet proposisi yang harus disepakati dulu. Bila proposisi-proposisi itu tidak disepakati, hasilnya adalah debat kusir yang tidak akan berujung kemana-mana. Di antara proposisi-proposisi tersebut adalah: mana yang diakui sebagai sumber hukum dalam Islam?

Sebagian orang akan menjawab: Quran, sunnah, ijma’, qiyas. Sebagian akan menolak sunnah, sebagian malah mungkin menolak Quran itu sendiri. Yang saya pelajari di Iran, sumber hukum itu ada empat, yaitu Quran, dua sunnah, yaitu sunnah Nabi (tapi itupun dengan batasan-batasan tersendiri versi Syiah yang jelas berbeda dengan mazhab lainnya) dan sunnah 12 Imam (12 keturunan Rasul), ijma’ (dengan batasan bahwa yang dimaksud ijma’ adalah kesepatan para ulama tentang apa yang terkandung dalam Quran dan Sunnah, bukan kesepakatan arbitrer di antara para ulama), dan akal (juga dalam pengertian yang khas, yaitu berbagai kaidah akal untuk memahami logika hukum, bukannya pendapat akal an sich). Untuk memutusan mana syariat, mana yang bukan, semua fasilitas itu harus dikuasai (dan itu artinya sebuah proses belajar puluhan tahun dan “menelan” ribuan buku).

Dalam mazhab Syiah, kesulitan ini teratasi dengan konsep “taklid”, artinya, orang-orang yang memang tidak berkesempatan (atau tidak mampu) mempelajari semua itu, diwajibkan untuk patuh kepada kata-kata para ulama yang memang sudah diakui oleh civitas akademi keilmuan Islam sebagai ulama tingkat tinggi yang sudah boleh ditaklidi. Dan, proses penetapan syariat itu hingga kini terus berjalan karena dalam mazhab ini, pintu ijtihad tidak dinyatakan tertutup. Hal ini jelas lebih masuk akal karena zaman berputar dan banyak masalah-masalah baru yang timbul, misalnya bolehkah kloning pada manusia, dll?

Terlepas dari apapun mazhab saya (saya tidak ingin dianggap mempropagandakan Syiah), tapi, inilah yang menurut saya jalan keluar terbaik dan cenderung mengurangi perbedaan pendapat di antara umat. Masuk akal karena, bila semua orang sibuk mempelajari agama, siapa yang harus jadi dokter, insinyur, tukang becak, tukang bangunan, presiden, politikus, dll? Karena itulah, di Iran, saya lihat orang cenderung tidak pusing-pusing soal fiqih. Bila dia ber-taklid pada Ayatullah Sistani, misalnya, (ulama besar yang juga ditaklidi sebagian besar umat Syiah Irak), dia akan membuka buku petunjuk fiqih yang ditulis oleh sang Ayatullah (atau, menelpon langsung ke kantor perwakilan sang Ayatullah) dan tidak perlu repot-repot berdebat dengan sesama orang awam atau orang yang sedikit-sedikit tahu agama lalu mengaku sebagai ustadz. Dan, saya pikir ini adalah salah satu yang diberontak oleh islib, bukan? Dunia ini ruwet ketika hampir semua orang merasa berhak memutuskan ini haram, ini halal.

Terakhir, bila di Iran kini sebagian perempuan dan beberapa orang yang mengaku ulama menyuarakan agar dibebaskannya kaum perempuan Iran dari jilbab, itu sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah (argumen) benar atau tidaknya sebuah negara mewajibkan pemakaian jilbab. Pengalaman subyektif saya yang ingin saya sampaikan terakhir adalah masalah keterbebasan dari mode (dan inilah yang saya angkat sebagai judul tulisan ini).

Ya, berjilbab di Iran (yang artinya juga mengenakan pakaian panjang dengan warna yang gelap atau minimalnya kalem) saya lihat justru membebaskan kaum perempuan dari mode. Pergi kuliah atau ke kantor memakai baju dan jilbab yang itu-itu selama bertahun-tahun bukanlah aib atau aneh. Tidak ada yang peduli. Bahkan, bila seorang perempuan ber-chadur, dia akan lebih merdeka lagi dari yang namanya mode. Mau pakai pakaian apapun tidak akan terlihat orang. Tapi, fitrah perempuan pun bukannya hilang. Berdandan adalah fitrah perempuan. Kompensasinya, perempuan Iran cenderung berpakaian cantik dan seksi di rumah. Hasilnya, secara sosial kaum laki-laki (terutama yang belum menikah) terbebas dari “siksaan batin” menonton keindahan tubuh perempuan yang tidak bisa dia “jamah”, kaum perempuan tidak perlu sibuk-sibuk berdandan ketika akan keluar rumah, dan di rumah, suami-suami disuguhi istri dengan pakaian seksi.

Saya merasakan sendiri kemerdekaan berpakaian seperti ini. Tidak ada yang peduli saya pakai apa, atau bila saya pakai baju dan jilbab yang sama selama tiga hari berturut-turut sekalipun. Juga, bila saya pakai baju dan jilbab baru pun, tak ada yang peduli, karena ketiadaan mode membuat orang sulit mengenali mana jilbab baru, mana jilbab lama. Menurut saya, inilah satu versi lain dari kebebasan. Tentu, kebebasan seperti ini tidak didapat bila seseorang yang berjilbab pun ingin tetap menarik perhatian orang lain dengan jilbabnya itu. Dan, kebebasan seperti ini jelas tidak didapatkan oleh mereka yang tidak berjilbab, yang tiap saat harus pusing dengan penampilan dan model (atau minimalnya, kerapihan) rambutnya.

mengungkap misteri memristor

MENGUNGKAP MISTERI MEMRISTOR

Textbook2 di Jurusan EE (Electrical Engineering, iaitu Teknik Elektro) mengatakan bahwa dalam dunia elektronika terdapat 3 komponen fundamental: resistor, kapasitor, dan induktor. Tapi Fren, tahukah kalian kalau ternyata ada satu lagi komponen fundamental yang hilang, komponen elektronik pasif keempat bernama “Memory-resistor” atau disebut juga “Memristor”. Uniknya, komponen ini baru berhasil dibuat di HP (Hewlett-Packard) Labs bulan April 2008 lalu.

.

Asal Mula Memristor

Alkisah, kisah Berkeley. Saat itu Prof. Leon Chua mempublikasikan paper yang menyatakan hipotesanya bahwa ada komponen fundamental yang keempat selain resistor, kapasitor, dan induktor, komponen ini tidak bisa digantikan oleh kombinasi apapun dari tiga komponen lainnya karena secara radikal memang beda. Berdasarkan konsep kesimetrisan, masing2 komponen didefinisikan sebagai relasi antara 2 dari 4 variabel fundamental rangkaian: tegangan, arus, muatan, dan flux. (lihat gambar di bawah)

“now all the EE textbooks need to be changed”

-IEEE Kirchoff Award winner, Leon Chua, on the discovery of the memresistor.

Namun hingga 36 tahun lebih kisah misteri hilangnya komponen keempat ini tetap menjadi misteri, karena baru sebatas persamaan matematis dan belum ada yang bisa membuktikannya dalam bentuk fisik selama puluhan tahun, ini lebih disebabkan karena pembuktian akan adanya memristansi lebih terlihat pada percobaan berskala nano.

Although researchers had observed instances of memristance for more than 50 years, the proof of its existence remained elusive -in part because memristance is much more noticeable in nanoscale devices. The crucial issue for memristance is that the device’ atoms need to change location when voltage is applied, and that happens much more easily at the nanoscale.”

-HP Labs

.

37 Tahun kemudian

tepatnya di bulan April 2008, sekumpulan scientis yang melakukan riset di Lab HP (Hewlett-Packard) berhasil membuat prototipe yang bekerja sesuai sifat komponen misterius tersebut dengan menggunakan teknologi crossbar-latch yang dikembangkan sejak tahun 2005.

Di bawah ini gambar circuit dengan 17 memristor yg dicapture menggunakan atomic force microscope :

.

Teori Memristor

Alasan utama memristor berbeda secara radikal dari komponen fundamental lain ialah, memristor dapat menyimpan memory masa lalunya. Ketika kita mematikan tegangan pada rangkaian, si memristor ini tetap mengingat berapa besarnya dan berapa lama.

Mari beranalogi sejenak untuk membedakan resistor dengan memristor. Analogi klasik untuk resistor adalah dia seperti sebuah pipa dimana air (analogi listriknya) melaluinya. Nah, lebar pipa ini dianalogikan sebagai resistansi dari arus yang mengalir, semakin sempit pipanya maka semakin besar resistansinya, dimana resistor normal tidak berubah ukurannya. Di sisi lain sebuah memristor dianalogikan dapat berubah ukurannya sesuai jumlah air yang melaluinya. Jika air melalui pipa tersebut ke satu arah, ukuran pipa bertambah besar (yang berarti resistansi semakin kecil), sebaliknya jika air melalui arah sebaliknya, ukuran pipa bertambah kecil (yang berarti makin resistif). Dan si memristor ini mengingat, ketika aliran air dimatikan, ukuran pipa tidak berubah. Meski sebenarnya mekanisme tersebut secara teknis dapat dilakukan juga dengan gabungan transistor dan kapasitor, tapi membutuhkan banyak transistor dan kapasitor untuk melakukan pekerjaan dari satu memristor tersebut.

Memristor sendiri didefinisikan sebagai sebuah elemen dimana flux magnetik Φm antara terminal merupakan fungsi dari jumlah muatan elektrik q yang melewati device. setiap memristor memiliki karakteristik berdasarkan fungsi memristansi yang merupakan besaran perubahan flux terhadap perubahan muatan.

M(q) = dΦm/dq

Hukum induksi Faraday menyatakan bahwa flux merupakan integral waktu t dari tegangan, dan muatan merupakan integral waktu t dari arus, sehingga dapat dituliskan

M(q) = (dΦm/dt) / (dq/dt) = V/I

Dari sini bisa diturunkan bahwa memristansi merupakan resistansi yang bergantung pada muatan. Jika M(q) konstan, maka kita dapatkan R = V/I. Jika M(q) nontrivial, bagaimanapun persamaan itu tidak equivalen karena q dan M(q) akan bervariasi terhadap waktu t. (walahh makin serius aja neh blog :? ) Menyelesaikan tegangan sebagai fungsi waktu kita dapatkan

V(t) = M(q(t)).I(t)

Persamaan ini menjelaskan memristansi sebagai hubungan linier antara arus dengan tegangan. Alternating Current (AC, Arus bolak-balik) menjelaskan ketergantungan linier dalam operasi rangkaian dengan menginduksi sebuah tegangan terukur tanpa net pergerakan muatan, sepanjang perubahan maksimum q tidak menyebabkan perubahan berarti pada M.

Lebih jauhnya, memristor akan static manakaa tidak ada arus, jika I(t)=0, maka V(t)=0 dan M(t) akan konstan. Inilah esensi dari memory effect.

(gimana, gimana, merasa tercerahkan? atau………. masih bingung juga kek sayah? :D )

.

Aplikasi Memristor

Sebelumnya mari kita flashback dulu sebentar ke tahun lupa-lagi-gak-tau-malah, saat itu ditemukannya transistor menjadikan revolusi besar di dunia elektronika menggantikan tabung vakum. Revolusi apa lagi kah kiranya yang bakal terjadi dengan terungkapnya memristor? 8)

Berikut ini beberapa implementasi memristor (seperti yang disebutkan oleh situs2 yg saya rujuk):

- Memristor sebagai switch

Switching Memristor disebutkan lebih sederhana dibandingkan MOSFET switch yang populer sekarang, Memristor sebagai switch? Jadi inget materi kuliah Elka: Transistor sebagai switch (inget judulnya doang koq :D hhaha..) cuman si Memristor ini tidak punya fungsi sebagai amplifier karena dia komponen pasif. dan mustahil juga membuat konstruksi digital logic yang hanya menggunakan memristor.

- Teknologi Komputer berskala Nano

Di artikel HP Labs disebutkan bahwa salah satu goal yang diharapkan oleh para peneliti dalam membangun dan mempelajari elektronika dan arsitekrur berskala nano adalah untuk mengubah komputer melewati batas fisik dan fiskal dari rangkaian chip silikon konvensional. Selama beberapa dekade, peningkatan performa chip dilakukan dengan menambah dan menambah jumlah transistor pada rangkaian, sedangkan semakin tinggi kepadatan transistor pada chip ternyata menyebabkan masalah yaitu panas yang berlebih.

Dibandingkan menambah jumlah transistor pada rangkaian, kita dapat membuat rangkaian hybrid dengan transistor lebih sedikit tapi dengan tambahan memristor -dan fungsionalitas, teknologi memristor dapat mewujudkan rangkaian dengan high-density namun lebih efisien dalam energi. hmm.. karena ini kah Hukum Moore akan kembali berlaku? :?

- Non-volatile Solid-state Memory

menjadikan mungkin membuat device yang dapat menyimpan data sebesar harddisk dengan access time serasa DRAM, bahkan device ini mungkin akan menggantikan kedua komponen tersebut. Prototipe crossbar-latch memory yang dibuat HP menggunakan device yang dapat memuat 100 gigabit dalam satu centimeter persegi, bandingkan dengan Flash memory terpadat saat ini sebesar 32 gigabit. HP juga menyebutkan bahwa versi memristor ini kecepatannya sekitar sepersepuluh kecepatan DRAM. wow 8O

Akibat lain dari Non-volatile memory adalah kita dapat membuat komputer tidak perlu booting setiap kali dinyalakan. Biasanya setiap kita menyalakan komputer ada proses boot-up terlebih dulu, membaca data yang tersimpan di harddisk yang diperlukan untuk sistem operasi berjalan, dan ini tentu makan waktu. Alasan mengapa komputer setiap dinyalakan harus direboot ulang adalah karena DRAM hilang kemampuannya menyimpan bit informasi setelah powernya dimatikan. Sedangkan secara memristor dapat mengingat tegangan, sehingga komputer memristor tidak memerlukan reboot tiap kali dinyalakan. Jadi misalkan kita sedang membuka banyak window aplikasi, komputernya itu kita turn off. Nah, ketika kita kembali dan menyalakan komputernya, secara instant sistem langsung berjalan dan semua yang ada di layar sama persis dengan saat ketika kita matikan. IMHO, mekanisme ini seperti melakukan Hibernate dengan kecepatan Standby. Dan lagi, non-volatile memory mungkin implementasi memristor yang paling mungkin dalam waktu dekat.

- Emulasi Sistem Neural

Chua juga mengatakan bahwa sinapsis, yaitu koneksi antara neuron-neuron (huhuhu.. teringat kembali pelajaran biologi SMA tentang sistem saraf), memiliki tingkah laku memristif. Sehingga katanya memristor dapat menjadi device elektronik yang ideal untuk mengemulasikan sebuah sinapsis.

- Aplikasi lainnya

Beberapa paten yang berhubungan dengan memristor diantaranya disebutkan mencakup aplikasi2 dalam programmable logic, signal processing, neural networks, control systems, dan lain-lain)

.

Akhirul kalam, mohon maaf kalau ada salah-salah kata, cmiiw. Pesan saya, ini kesempatan emas buat kita anak2 EL (yah mungkin FI dan FT juga) ;)

.